Influencer as Leader: Spreading Values for Value

Influencer as Leader: Spreading Values for Value

“Leadership is influence. Nothing more, nothing less.” John C. Maxwell

Why: To Lead is to Influence

Kata “leader” dan “influencer” sering dianggap jauh berbeda. Tidak percaya? Coba Anda sebutkan lima nama pemimpin di Indonesia yang masih hidup saat ini. Selanjutnya, sebutkan juga lima nama influencer yang Anda kenal di negeri ini! Adakah irisan di antara jawaban tersebut? Adakah nama yang sama di dalam daftar “leader” dan “influencer” yang Anda sebutkan? Barangkali tidak. Ketika disebutkan kata “leader”, Anda mungkin akan membayangkan sosok presiden, tokoh politik, pemimpin partai, ataupun pejabat daerah yang terkenal. Sedangkan kata “influencer” mungkin akan mengingatkan Anda dengan para selebgram, YouTuber maupun TikToker dengan jutaan follower.

Apa kesamaan keduanya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan membawa Anda pada pembahasan yang mendasar: tentang definisi. Saya akan mengutip definisi kepemimpinan yang klasik namun masih relevan, yang dirumuskan dari teori Jennings (1960) dan Wren (1995). Menurut mereka, pemimpin adalah seseorang yang dengan ide serta perbuatannya bisa memengaruhi perilaku orang lain. Jadi, kata kuncinya adalah “pengaruh” (influence). Ketika Anda mampu menggerakkan orang lain untuk mengikuti Anda secara sukarela, maka hakikatnya saat itu Anda telah menjadi “pemimpin” bagi mereka.

Definisi serupa ditegaskan oleh pakar kepemimpinan John C. Maxwell. Secara lugas dia menyatakan bahwa “Leadership is influence. Nothing more, nothing less”. Definisi-definisi di atas jelas menegaskan bahwa influencer hakikatnya adalah leader. Bukankah keduanya sama-sama memiliki follower? Dahulu, follower dari leader biasanya mengacu pada kumpulan massa di dunia nyata, sementara follower dari influencer merujuk pada para netizen di dunia maya. Digitalisasi menjadikan dikotomi tersebut menjadi tidak relevan. Di dalam dunia yang semakin terkoneksi secara digital, para leader terus berupaya untuk melebarkan pengaruhnya dengan cara menambah follower di media sosial. Sebaliknya, banyak juga influencer yang lalu memanfaatkan popularitasnya di dunia maya untuk mendapatkan pengaruh dan kekuasaan di dunia nyata. Coba cermati pilkada nanti. Ada berapa banyak influencer yang maju menjadi walikota atau bupati?

What: Leadership is Not Only About Value

Apakah peran seorang leader sudah selesai begitu dia bisa memengaruhi orang lain? Tentu tidak. Setelah orang lain secara sukarela mengikuti apa yang Anda katakan atau Anda lakukan, selanjutnya Anda memiliki tanggung jawab untuk membawa mereka menjadi pribadi yang lebih baik. Apa yang dikatakan oleh Jack Welch, mantan orang nomor satu di General Electric, berikut ini menjelaskan tanggung jawab tersebut: “Before you are a leader, success is all about growing yourself. When you become a leader, success is all about growing others.”

Di dalam buku Entrepreneurial Marketing yang saya tulis bersama Prof Philip Kotler, Jacky Mussry dan Hooi Den Huan, saya menampilkan model CI-EL yang menjelaskan peran leadership terkait dengan creativity, innovation, dan entrepreneurship. Menurut model tersebut, peran pertama seorang leader adalah membangun sistem dan budaya organisasi yang bisa mendorong munculnya creativity dan innovation di dalam organisasi. Tanpa gaya kepemimpinan yang tepat, akan sulit muncul creative innovator yang bisa melahirkan ide-ide serta solusi baru. Peran kedua seorang leader adalah mengawal agar entrepreneurial spirit di dalam perusahaan tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip etika dan values. Menurut model tersebut, fokus dari entrepreneurship memang pada value creation. Jika tidak diiringi dengan leadership yang kuat, entrepreneurship bisa menerobos rambu-rambu etika yang perlu diperhatikan dalam bisnis.

Para influencer harus bisa menerapkan empat elemen dari CI-EL. Dengan kreativitas dan inovasi, mereka akan bisa membuat konten yang unik, menarik serta bermanfaat bagi follower-nya. Selanjutnya, dengan kemampuan entrepreneurship para influencer akan bisa menemukan peluang untuk melakukan monetisasi. Ada yang menerima brand endorsement. Ada yang menjual barang (fisik maupun digital) kepada follower-nya. Ada juga yang menawarkan service dalam bentuk pelatihan, konsultasi, pembawa acara, dan sejenisnya.

Figure 1. CI-EL Model

Cukupkah itu semua? Belum. Ada satu elemen lagi yang menurut saya paling penting: leadership. Sesuai dengan penjelasan saya tentang model CI-EL, para influencer harus memegang teguh prinsip-prinsip etika (values) dalam berinteraksi dengan follower-nya. Mereka tidak boleh hanya mengejar keuntungan jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan para follower-nya.

Contoh bad influencer adalah para selebgram maupun YouTuber yang secara sadar merekomendasikan situs atau aplikasi judi online. Influencer semacam ini berarti belum menerapkan prinsip leadership. Mereka baru sebatas mengejar value, belum peduli dengan values.

Figure 2. WOW Leadership Model

How: Spreading Values For Value

Bagaimana menjadi influencer sekaligus leader yang “lengkap”? Anda bisa merujuk pada buku WOW Leadership yang pernah saya tulis bersama Ardhi Ridwansyah. Sesuai dengan model di Figure 2, ada enam komponen yang perlu diperhatikan oleh para influencer agar bisa memberikan pengaruh positif kepada para follower-nya secara efektif. Mari kita bahas satu-persatu.

Aspek Fisik (Physicality)

Ada sebuah riset menarik yang pernah dilakukan oleh Ballew dan Todorov dari Princeton University. Mereka menyandingkan dua foto kandidat yang saling bersaing dari ratusan pemilu kongres dan gubernur di Amerika Serikat. Setelah itu, mereka meminta responden untuk menilai hanya dari foto wajahnya, siapa di antara keduanya yang dianggap lebih kompeten. Jika responden mengenal salah satu kandidat, maka penilaiannya tidak dihitung. Jadi, penilaian murni hanya berdasarkan sepotong foto wajah dari para kandidat tadi. Hasilnya cukup mengejutkan! Prediksi para responden yang hanya didasarkan pada selembar foto tadi ternyata berkorelasi kuat dengan hasil pemilu yang sebenarnya. Artinya, semakin meyakinkan wajah mereka, semakin besar juga peluang mereka memenangkan persaingan. Dari penelitian tadi ditemukan bahwa kaitan antara wajah yang “kompeten” dengan kemenangan pemilu bisa mencapai angka 70 persen!

“Don’t judge a book by its cover?” Pepatah dalam bahasa Inggris ini mengingatkan kita agar tidak menilai seseorang dari penampilan luarnya saja. Ibarat membeli sebuah buku, jangan hanya melihat keindahan sampulnya. Akan tetapi, kecenderungan ini sering kali tidak bisa dihindari, baik di dunia nyata maupun maya. Karena itu, tampilan visual para influencer menjadi faktor yang penting untuk diperhatikan. Jangan sampai konten Anda yang bermanfaat tidak memiliki pengaruh yang kuat hanya karena kemasan yang kurang memikat! Foto yang menarik, video dengan pencahayaan jelas, serta alunan musik latar yang pas adalah contoh dari aspek-aspek fisik ini.

Aspek Intelektual (Intellectuality)

Aspek ini lebih dari sekadar masalah nilai IQ, karena terkait dengan kemampuan seorang influencer untuk mengelola cara berpikir sehingga bisa memberikan pengaruh yang lebih efektif kepada follower-nya. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan para influencer agar bisa memberikan pengaruh intelektual secara efektif kepada orang lain. Pertama adalah logical thinking, kedua creative thinking, dan terakhir practical thinking.

Ketiga kemampuan intelektual ini hakikatnya saling melengkapi. Berikut ini kaitan antara ketiga kemampuan intelektual tadi.

– Logical thinking tanpa dua kemampuan lainnya: hasilnya adalah ide yang sistematis dan mudah dipahami, namun minim dari hal-hal baru serta cenderung mengawang-awang karena sulit diimplementasikan.
– Creative thinking tanpa dua kemampuan lainnya: hasilnya adalah ide yang baru dan beda, namun tidak sistematis serta cenderung mengawang-awang karena sulit diimplementasikan.
– Practical thinking tanpa dua kemampuan lainnya: hasilnya adalah ide yang mudah diterima, bukan karena ide tersebut logis dan memberikan perspektif baru, namun sekadar karena mudah diimplementasikan. 

Aspek Emosional (Emotionality dan Sociability)

Aspek ini terkait dengan manajemen emosi, atau kemampuan untuk mengelola emosi pribadi dan emosi orang lain sehingga pengaruh yang diberikan kepada follower bisa lebih optimal. Emosi memang memegang peranan kunci dalam perilaku seseorang. Karenanya, untuk memengaruhi perilaku orang lain, Anda tidak cukup hanya menyentuh rasionya. Anda juga perlu memengaruhi emosi mereka. Bukankah sering kali kita gagal membuat seseorang berubah hanya karena lupa untuk menyentuh sisi emosional mereka?

Untuk menyentuh emosi orang lain, Anda bisa menggunakan kepiawaian dalam berbicara dan mengolah kata. Perhatikanlah para motivator yang bisa membangkitkan optimisme para pendengarnya. Atau, cobalah tonton film-film kolosal di mana ada adegan Sang Pemimpin membakar semangat pasukannya sebelum terjun ke medan laga. Kata-kata mereka inspiratif dan mampu membangkitkan emosi.

Nah, tentu tidak semua orang memiliki kemampuan mengelola emosi seperti mereka. Namun, jangan kecil hati karena tips sederhana untuk memengaruhi orang-orang di sekitar kita. Apa itu? Cerita! Robert McKee, seorang profesor yang juga penulis naskah film ternama, pernah mengatakan bahwa untuk memengaruhi orang lain setidaknya ada dua cara. Pertama, dengan menyodorkan data-data hasil analisis (grafik, angka statistik, dan sebagainya). Dan yang kedua, dengan cerita. Data-data hanya akan menyentuh sisi rasional orang lain, sedangkan sebuah cerita akan melibatkan mereka lebih dalam secara emosional. Karena itu, kemampuan story telling menjadi penting bagi seorang influencer.

Aspek Moral (Personability dan Moral Ability)

Aspek ini adalah fondasi kepemimpinan yang paling penting bagi seorang influencer. Aspek moral terkait dengan kemampuan untuk menjaga integritas moral, sehingga pengaruh yang diberikan kepada orang lain menjadi sustainable (berefek jangka panjang). Seorang influencer dan leader yang hanya berorientasi mengejar keuntungan (value) mungkin bisa mencapai popularitas dan kesuksesan finansial. Tetapi pencapaian tersebut kemungkinan hanya dalam jangka pendek. Saat aspek moral ini diabaikan, maka mereka ibarat membangun bangunan di atas fondasi yang kokoh. Suatu saat bisa roboh ketika skandal dan masalah muncul ke permukaan. Coba ingat-ingat, berapa banyak leader serta influencer yang ditinggalkan, bahkan dihujat, oleh follower-nya sendiri karena tersandung permasalahan hukum maupun moral.

Sebaliknya, tidak sedikit influencer yang awalnya hanya fokus menyebarkan pesan-pesan positif dan kebaikan, tanpa ada tendensi untuk mencari keuntungan, namun akhirnya justru mengantarkannya pada popularitas dan manfaat finansial. Inilah makna dari spreading values for value.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top