Salah satu tantangan di industri perlengkapan rumah tangga adalah para pemain lokal mendapat kesempatan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Industri e-commerce senantiasa menjadi sektor industri yang istimewa bagi saya. Di Indonesia, cikal bakal e-commerce sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1996. Namun, perkembangannya baru benar-benar memuncak hampir dua dekade kemudian. Sebagai seorang enthusiast, saya senantiasa mengamati dengan saksama perkembangannya, baik sebagai pengguna maupun dari kacamata entrepreneur.
Sebagai konsumen, di tengah kemudahan mendapatkan segala keperluan barang dan jasa yang dibutuhkan melalui e-commerce ini, satu hal yang menarik perhatian saya adalah bahwa saya tak memiliki banyak pilihan untuk kebutuhan home and living. Pilihan untuk furnitur maupun barang-barang keperluan hunian lainnya sangat terbatas, apalagi jasa desainer interior yang transparan. Kala itu, menggunakan jasa desain interior dan konsultan hunian seperti memilih kucing dalam karung. Saya harus mencari referensi melalui orang-orang terdekat atau melakukan pencarian jasa desain interior di sekitar lingkungan saya. Pilihan kualitas pun menjadi sangat terbatas dan bergantung pada referensi serta ketersediaan jasa di sekitar saya.
Di sisi lain, sebagai seorang pengusaha, saya melihat pemain utama di industri ini masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan potensinya yang begitu besar. Selera konsumen sangatlah bervariasi dan personal sehingga akan selalu memerlukan lebih banyak pilihan yang tak mungkin bisa dikuasai satu atau beberapa pemain saja. Pengalaman inilah yang akhirnya mendorong saya dan rekan untuk mewujudkan Dekoruma. Tidak hanya dari sisi bisnis, Dekoruma juga membuka peluang untuk membantu masyarakat mewujudkan hunian impian mereka dengan lebih mudah, lebih terjangkau, dan lebih transparan.
Saat ini, Total Addressable Market (TAM) untuk kategori home and living, khususnya retail, di Indonesia adalah sekitar US$ 3,24 miliar atau setara dengan Rp 52,1 triliun, dengan pertumbuhan Compound Annual Growth Rate (CAGR) sekitar 8% (Statista dan riset internal). Laju pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional, yang berada pada kisaran 5-5,2% per tahun.
Bayangkan, dengan laju pertumbuhan seperti ini, hanya ada segelintir pemain utama saja di dalamnya. Tingginya pertumbuhan TAM ini menjadi indikasi bahwa industri home and living masih sangat menarik untuk jangka panjang, bahkan meski ada pemain baru yang muncul ke depannya. Yang lebih menarik lagi, peluang perkembangan bisnis ini justru akan datang dari daerah-daerah lain di luar Jabodetabek, bahkan di luar Pulau Jawa, seiring pesatnya pertumbuhan infrastruktur di daerah-daerah tersebut.
Sebagai kebutuhan tersier, industri home and living akan berkembang saat daya beli masyarakatnya berkembang. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat, khususnya di Indonesia, terkait erat dengan pembangunan infrastruktur. Lazimnya, pusat-pusat pemerintahan, perkantoran, komersial, dan kawasan hunian baru akan bermunculan di daerah-daerah yang mengalami pembangunan infrastruktur, khususnya infrastruktur keras seperti jalan tol. Munculnya aktivitas bisnis dan komersial baru, serta wilayah-wilayah pemukiman baru akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakatnya.
Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, perkembangan infrastruktur sangat pesat, tidak hanya di Pulau Jawa saja, tetapi hampir merata hingga ke Sumatera, Kalimantan, dan wilayah-wilayah lainnya. Indikasi pertumbuhan ekonomi di kawasan ini bisa dilihat dari hadirnya pusat-pusat dan aktivitas komersial baru seperti mal, waralaba kelas menengah atas, hingga kawasan hunian dengan harga dan fasilitas yang lebih premium. Saat daya beli masyarakat meningkat, keinginan untuk memiliki hunian yang lebih nyaman dan terkonsep pun muncul, yang pada akhirnya mendorong mereka untuk mengalokasikan dana lebih untuk kebutuhan home and living.
Pertumbuhan infrastruktur secara umum akan mendorong pertumbuhan perkotaan atau township development. Daerah-daerah yang belum terlalu maju akan tumbuh menjadi kota-kota kecil. Daya beli masyarakatnya pun beranjak dari menengah bawah menjadi menengah dan menengah atas, sehingga permintaan pasar home and living di fase ini akan berfokus pada retail. Sebut saja furnitur maupun perlengkapan hunian lainnya seperti dekorasi dan aksesoris.
Konsumen ingin mempercantik rumah, mendapatkan pengalaman hunian dan interior yang lebih baik, namun dengan harga yang masih terjangkau. Mereka tak keberatan untuk mengeluarkan dana lebih demi merasakan pengalaman baru tersebut. Pada kota-kota kecil, perkembangan infrastruktur membuatnya tumbuh semakin besar dan menjadi kota-kota besar. Segmen hunian mulai dilirik sebagai peluang bisnis, suplai hunian di kawasan strategis pun mulai ‘dikuasai’ oleh pengembang-pengembang properti. Permintaan pasar akan home and living semakin bergeser menjadi kelas yang lebih premium. Pasar tidak hanya menginginkan perabotan dan perlengkapan yang berkualitas, tetapi juga hunian yang terkonsep. Pada fase ini, konsumen mulai membutuhkan jasa desain interior.
Puncaknya, saat suatu daerah sudah sangat berkembang dan menjadi megacity, seperti di Jakarta, Surabaya, dan beberapa kota besar lainnya, permintaan pasar akan semakin bergeser ke level high-end. Penyedia suplai dituntut untuk tidak hanya dapat mempercantik hunian, tetapi juga mencerminkan identitas dan ciri khas konsumennya. Mereka ingin semuanya serba terpersonalisasi dan memiliki kualitas yang tinggi. Di sinilah, segmen bisnis desain interior berada pada puncaknya.
Selain infrastruktur, industri home and living juga akan terkait dengan perkembangan industri properti, khususnya properti hunian. Data internal kami mencatat bahwa semakin tinggi seseorang bersedia mengeluarkan dana untuk membeli hunian, semakin besar pula alokasi anggaran untuk perlengkapan rumah maupun interior. Secara umum, saya mencatat bahwa konsumen mengalokasikan anggaran untuk interior dan perlengkapan home and living sebesar 10-20% dari harga rumahnya. Jadi, di saat harga properti meningkat, pemilik akan cenderung meningkatkan standar dan pengalaman mereka untuk kebutuhan furnitur dan barang-barang home and living lainnya yang lebih premium lagi.
Perkembangan infrastruktur dan geliat ekonomi nasional menjadikan home and living sebagai industri dengan prospek yang cerah ke depannya, baik pada tingkat menengah ke bawah, menengah, hingga tingkat ekonomi atas. Peluang terbuka lebar, tidak hanya untuk pemain-pemain lama, tetapi juga pemain-pemain baru yang mulai bermunculan. Namun, sebagaimana sektor industri lainnya, sektor industri ini bukannya tanpa tantangan. Salah satu tantangan terbesar bagi industri home and living ke depannya adalah menjaga agar merek-merek lokal tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dengan jumlah penduduk yang besar dan ekonomi yang terus bertumbuh, Indonesia akan selalu menjadi pasar yang menjanjikan bagi merek-merek luar negeri. Dengan sumber daya dan sistem yang lebih siap, merek global bisa sewaktu-waktu mengambil alih pasar di Indonesia.
Hal ini diperparah dengan kecenderungan pemain lokal untuk bersaing dengan memasang harga termurah. Pelaku industri lokal menjadi tidak memiliki modal untuk berinvestasi pada sistem, sumber daya, maupun riset dan teknologi sehingga kualitas produk yang dipasarkan pun tidak berkembang. Hal ini pada akhirnya menimbulkan pengalaman yang mengecewakan pada klien dan membuat mereka beralih ke produk luar negeri. Untuk itu, sangat penting bagi pelaku industri lokal untuk fokus pada persaingan kualitas daripada perang harga. Kita juga harus bersama-sama menjaga konsistensi, terutama pada jaringan suplai. Dengan besarnya pasar industri ini, masih banyak ruang untuk bersaing secara sehat. Bersaing melalui kualitas. Semua harus bersama-sama berkembang dan memulai investasi, baik pada sumber daya manusia, mesin, maupun sistem dan teknologi untuk bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
KUTIPAN
Tantangan terbesar bagi industri home and living ke depannya adalah menjaga agar merek-merek lokal tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri.